(Opini) Dewa Hubal, Kaum Musyrik, dan Ahlul Kitab

By Admin

nusakini.com--Buat saya, dan mungkin buat mayoritas umat Islam dari seluruh dunia, Masjid Haram di Makkah adalah bangunan magis penuh eksotisme spiritual. Setiap bangunan masjid itu, selagi Kabah bisa terlihat, adalah tempat kontemplasi yang mengasyikkan. Allah dalam konsep Islam sesungguhnya adalah Tuhan yang Maha Asyik, sedang manusia yang mengenal dirinya dan karena itu mengenal Tuhannya cenderung menjadi ma’syuk. Zat penuh pesona itu selalu menenggelamkan, sedang manusia sebagai makhluk maha lemah cenderung tenggelam dalam keterpesonaan.  

Di antara sudut-sudut Masjid Haram, lantai paling atas adalah tempat paling favorit buat saya berkontemplasi. Dari situ saya bisa dengan santai melihat Kabah yang berdiri kokoh sejak ribuan tahun lalu, dikitari ribuan orang yang tak henti bertawaf di sekelilingnya. Saya bisa lama sekali mengamati orang-orang itu berputar sambil menebak-nebak doa apa yang kira-kira mereka baca.  

Selama memandangi Kabah, terlalu sering saya membayangkan dulu, sebelum Muhammad diangkat menjadi utusan Allah, Kabah tidak punya langit-langit seperti sekarang. Di dalam Kabah itu pernah berdiri Dewa Hubal, dengan tubuh yang lebih tinggi dari Kabah hingga kepalanya menyembul. Orang-orang di luar Kabah akan dengan mudah memandang Hubal, yang juga berarti Dewa Bulan atau Dewa Laki-laki.

Dari antropologi bangsa Arab saya tahu ternyata orang Arab menganggap Bulan adalah simbol laki-laki, Matahari justru simbol perempuan. Bulan adalah laki-laki, kata mereka, karena berani berjalan sendirian di malam hari, sementara Matahari adalah perempuan karena hanya berani berjalan sendirian di siang hari.  

Kendati bangsa Arab di zaman itu menaruh banyak patung di sekitar Kabah, uniknya mereka tetap mengaku bahwa Tuhan mereka adalah Allah. Kabah saja mereka sebut ‘’baitullah’’ (rumah Allah). Ketika Abrahah hendak menghancurkan Kabah, raja Ethiopia ini bertanya kepada Abdul Muthallib sebagai penjaga Kabah, mengapa ia tidak melawan. Kata Abdul Muthallib: ‘’Kabah itu rumah Allah, biarkan saja Allah yang menjaga rumah-Nya. Tapi onta-onta yang Anda rampas itu milik saya, kembalikan onta-onta saya.’’   

Kalau benar bangsa Arab saat itu menyembah Allah, Tuhan yang Satu, mengapa mereka punya ratusan berhala di Masjid Haram? Alasan mereka punya banyak patung diabadikan oleh Allah dalam Al-Quran surat Az-Zumar (39) ayat 3. Semua berhala itu, kata orang Arab Makkah dalam ayat ini, sesungguhnya tidak mereka sembah, melainkan hanya sebagai sarana penghubung untuk mendekatkan diri pada Allah.

Maklum, Allah memang tidak pernah menampakkan Diri pada mereka dan karena itu mereka butuh perantara. Dengan demikian, selama ratusan tahun, bangsa Arab Makkah merasa bahwa diri mereka benar telah menjalankan tauhid sesuai ajaran Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail alaihimassalam, tapi di sisi lain Allah lewat Nabi Muhammad SAW menegaskan mereka sebenarnya telah bersikap musyrik (menyekutukan Allah).   

Di tengah kondisi bangsa Arab yang sangat yakin dengan berhala-berhala mereka, sejumlah besar penganut Yahudi, Nashrani juga Shabiin pelan-pelan datang ke jazirah Arab. Mereka menetap di Makkah, Yatsrib (nantinya bernama Madinah), atau distrik-distrik kecil lainnya di sekitar dua kota itu. Al-Quran menyebut mereka ahlul-kitab karena kepada mereka diturunkan kitab-kitab langit, Taurat dan Injil, dan menyebut Arab Quraisy sebagai kaum ‘’musyrikun’’ atau ‘’kafirun’’. Para ahlul kitab ini juga menyampaikan ajaran agama masing-masing kepada bangsa Arab, baik diam-diam maupun terang-terangan, terutama ketika Festival Ukkaz digelar setahun sekali.  

Hanya saja, ajaran ahlul kitab yang datang ke Makkah ini tidak mendapat tempat di hati bangsa Arab Makkah. Sekte-sekte Yahudi dan ordo-ordo Nashrani yang datang ke jazirah Arab ini kebanyakan mengajarkan trinitas bahwa Allah punya anak. Yahudi mengatakan Uzair anak Allah, Nashrani mengajarkan Isa atau Yesus anak Allah. Inilah yang tak bisa diterima oleh logika bangsa Arab saat itu.

Tentu saja ini sebuah ironi buat bangsa Arab itu. Di satu sisi mereka menjadikan berhala-berhala sebagai perantara menyembah Allah padahal itu syirik, sementara itu mereka juga sinis kepada ajaran trinitas dengan mengatakan ajaran itu syirik.  

Dalam konteks ini sangat bisa dimengerti bila Muhammad SAW sangat sulit menembus benteng kepercayaan kaum Quraisy saat itu. Mereka menuduh ajaran Muhammad SAW sangat mirip dengan ajaran Yahudi atau Nashrani yang sejak awal tidak masuk dalam logika mereka.

Tuduhan mereka tak sepenuhnya salah karena Rasulullah SAW memang diutus Allah untuk melanjutkan apa yang telah disampaikan para nabi sebelumnya, mulai dari Adam, Nuh, Ibrahim, Daud, Musa sampai Isa alaihimussalam. Tuhan para nabi ini sama yakni Allah, agama yang dianut para utusan Allah itu juga sama: Islam!  

Jangan ragu menyatakan agama para nabi itu Islam. Al-Quran sendiri yang menegaskan agama Ibrahim, bapak agama-agama langit, adalah Islam [QS ‘Ali Imran (3): 67]; Nabi Sulaiman bersama Ratu Balgis beragama Islam [QS an-Naml (27): 44], umat Nabi Isa atau Nabi Yesus menyebut diri mereka kaum Muslim [QS Ali Imran (3): 52].  

Nabi Isa AS adalah keturunan Ibrahim dari silsilah Siti Sarah, sedang Nabi Muhammad SAW adalah keturunan Ibrahim dari silsilah Siti Hajar. Kita semua bersaudara dalam nilai-nilai langit. Persamaan nilai inilah yang membuat Muhammad tak segan-segan mengirim para sahabatnya hijrah ke Habasyah dua kali, dengan pertaruhan sangat mungkin di antara sahabat-sahabatnya yang baru sedikit mengenal ajaran baru itu masuk Kristen.

Benar saja, salah satu sahabat yang ikut hijrah bernama Ubaidullah bin Jahsyi, suami Ummu Habibah, kemudian masuk Kristen di Habasyah sampai akhir hayatnya. Sejarawan Mesir Muhammad Haekal berpendapat, Muhammad bukan tidak mempertimbangkan kemungkinan ada sahabatnya yang masuk Kristen saat hijrah ke Habasyah. Tapi, jika pun konversi itu terjadi, itu masih lebih baik dibanding mereka menyembah berhala.  

Pertanyaannya, benarkah semua ahlul kitab saat Muhammad baru diangkat jadi nabi mengajarkan trinitas? Jawabannya tidak. Mari cermati dua catatan historis ini:  

Pertama, di Makkah saat itu ada ahlul kitab yang mengakui kenabian Muhammad dan bertauhid murni pada Allah, yakni Waraqah bin Naufal bin Asad bin Abdul Uzza bin Qushay Al-Quraisyi. Dia adalah penganut Nashrani, seorang imam Nestorian, sekaligus paman Khadijah, istri nabi. Waraqah mengakui kerasulan Muhammad saat Khadijah memberitahu pamannya soal wahyu pertama yang diterima suaminya itu.  

Kedua, ketika umat Islam generasi pertama ditekan oleh Quraisy, Muhammad memerintahkan mereka dua kali hijrah ke Habasyah pimpinan Raja Najasyi. Raja Kristen ini menganut paham tauhid, mengakui bahwa Isa atau Yesus hanyalah seorang nabi, sekaligus melindungi kaum Muslim dari tekanan elit Quraisy. Bahkan, saking Najasyi berpegang pada ajaran tauhid yang diajarkan Nabi Isa AS, Allah SWT sampai memerintahkan Muhammad SAW melakukan salat gaib saat sang raja wafat. Jadi, salat gaib pertama dalam sejarah Islam justru dilakukan atas penganut Kristen.   

Dari fakta di atas dapat disimpulkan bahwa ahlul kitab, baik Yahudi maupun Nashrani, di zaman Nabi terbagi dalam dua kelompok: Kelompok pertama bertauhid murni, kelompok kedua mengajarkan trinitas. Menghadapi kenyataan itu, dengan sangat arif dan bijaksana Muhammad SAW tidak serta merta main pukul rata mengatakan semua ahlul kitab pasti kafir. Jika semua ahlul kitab sudah pasti kafir, berarti ketika hijrah ke Madinah, nabi berhijrah dari Makkah yang penuh orang kafir menuju Madinah yang juga penuh orang kafir.

Ketika nanti Madinah dikepung kaum kafir Makkah dalam Perang Ahzab di tahun 5 Hijriah atau 627 Masehi, Nabi memimpin pasukannya yang terdiri atas pasukan Muslim, Yahudi, Nashrani, juga Shabiin. Jika Yahudi dan Nashrani sudah pasti kafir semua, peperangan ini berarti pertempuran antara pasukan kafir melawan pasukan kafir plus sedikit Muslim. Tidak. Perang Ahzab adalah pertempuran antara kaum kafir penyembah berhala melawan koalisi ahlul kitab. Catat baik-baik, biarpun jumlah pasukan koalisi ahlul kitab jauh lebih sedikit dibanding pasukan kafir Makkah, Allah berpihak pada koalisi ahlul kitab di Madinah.  

Sekarang, masih bisakah kaum Yahudi dan Nashrani dianggap ahlul kitab? Bagaimana umat Islam menghadapi mereka di era modern saat ini? Tidak usah bingung menjawabnya, contoh saja akhlak Rasulullah SAW di Madinah.

Lelaki agung ini hidup berdampingan dengan damai dengan Yahudi, Nashrani, juga Shabiin. Jika ada di antara mereka diusir dari Madinah, itu bukan atas dasar agama yang mereka anut, melainkan akibat mereka melanggar peraturan dan perjanjian hidup bernegara. Apakah Nabi otomatis selalu menganggap mereka kafir? Baca cerita di bawah ini pelan-pelan.  

Di tahun 9 Hijriyah, satu delegasi Kristen asal Najran datang ke Madinah ingin bertemu Nabi SAW. Saat itu Rasulullah sedang berada di dalam masjid bersama para sahabatnya. Merasa masjid adalah tempat ibadah, delegasi Kristen itu berniat mendirikan salat di Masjid Nabawi tapi dilarang oleh seorang sahabat. Ia tidak terima mereka salat menghadap Baitul Maqdis karena umat Islam saat itu sudah salat menghadap Kabah. Apa yang terjadi kemudian? Dengan lembut Rasulullah memanggil sahabat yang marah-marah itu bersama delegasi Kristen. Setelah tahu tujuan para pendeta Kristen itu, dengan ramah Rasulullah SAW mengizinkan mereka salat di Masjid Nabawi.  

Apakah Rasulullah serta merta menuduh mereka kafir? Tidak. Mereka ahlul kitab. 

Apakah Nabi berburuk sangka bahwa mereka pasti menganut paham trinitas? Tidak. Mereka ahlul kitab. 

Nabi Muhammad adalah manusia, tak mungkin ia bisa menebak isi hati manusia lain, kecuali atas petunjuk Allah SWT lewat Jibril AS. Hanya Allah yang bisa membaca isi hati setiap manusia. Karena itu, esok harinya bertanyalah Nabi apa pandangan delegasi Kristen Najran ini tentang Isa alias Yesus. Karena jawaban mereka tentang Isa diduga ada kebohongan, Rasulullah kemudian menantang mereka melakukan sumpah mubahalah, sumpah yang bisa mematikan salah satu pihak yang berbohong. Sejarah kemudian mencatat sumpah ini tak pernah terjadi karena delegasi Kristen Najran membatalkannya secara sepihak.  

Namun demikian, cerita tentang delegasi Kristen Najran ini memberi pelajaran sangat berharga buat umat Islam di zaman sekarang bagaimana sebaiknya mereka menghadapi nonmuslim. Jika Rasulullah SAW yang sangat akrab dengan Jibril saja tidak mudah menuduh ahlulkitab dari Najran itu kafir sebelum diskusi dilakukan, sebelum sumpah digelar, mengapa sekarang tanpa diskusi tanpa tanya-jawab kita gampang sekali menuduh orang lain kafir?   

  Terlalu sering Allah mempertemukan saya dengan penganut Kristen dari banyak belahan dunia. Dari diskusi panjang dengan mereka saya tahu, banyak juga di antara mereka yang tak percaya Yesus anak Tuhan. 

(Penulis : Helmi Hidayat, Konsultan Ibadah PPIH, Dosen UIN Jakarta)